Kamis, 22 Juli 2010

Menjaring Keberuntungan di Laut Lepas

Observasi kegiatan nelayan di kawasan Pameungpeuk Garut

Oleh: Dian Mardiana[i]

Bersila di pingir pantai, menikmati terbenamnya matahari dengan ditemani hidangan lobster bukanlah angan-angan. Harumnya sajian menambah kesan betapa nikmatnya hidangan itu dilahap. "Mmh... manyuss..." Lahapan pertama membuat anda ketagihan. Lahapan kedua membuat anda berpikir betapa nikmat jika hari esok, hidangan masih bisa disajikan. Namun harapan tak semudah omongan.

Menangkap Lobster ternyata tidak gampang. Para nelayan ini biasanya punya cara beragam dalam penangkapannya. Sebagian menggunakan jaring yang ditebar di sekitar tebing karang. Sebagian lainnya memilih cara dengan memakai alat yang terbuat dari jaring dengan lingkaran dari anyaman bambu di bagian mulutnya. Alat ini lebih dikenal dengan sebutan Bubu. Bubu ini seringkali diletakkan di beberapa titik dekat tebing karang. Cara ini terbilang lebih mudah dan ramah lingkungan namun hasil penangkapan tentu saja tidak sebanyak menggunakan jaring besar yang direntangkan mencapai ratusan meter yang malah bisa merusak batu karang.

Jajang, seorang nelayan penangkap lobster sore itu (2/1/2010) berenang melawan arus ombak yang siap menerkam badannya. Ombak itu seakan mengamuk membanting segala kandungan air ke tebing dimana para nelayan sedang berdiri. Tebing inilah yang disebut Karang Paranye, karang besar dengan banyak korong, tempat persembunyian para keong dan keuyeup. Pun, karang paranye yang berdiri tegak di atas permukaan laut itu menjadi tempat berkumpul para penangkap lobster di sore hari. Para nelayan itu lalu membidik, menunjuk, dan kemudian memasang bubu di sekitar batu karang dan dibiarkanlah salama satu malam. Esok harinya bersiap kembali memeriksa apakah lobster-lobster itu terjerat perangkap atau tidak. Jika tidak maka dia pasang lingkaran bambu/ besi itu di tempat yang berbeda. Dengan mengelus dada, sering kali dia berucap “Nihil.”

“Sebelah sana” ujar Jajang pada temannya yang hendak berenang menentang arus ombak yang siap membanting-bantingkan badannya. Perenang pun bersiap diri dengan ban pelampung di depan dadanya agar tetap di atas ombak. Setiap bubu itu di lengkapi dengan umbul-umbul berwarna putih untuk memberi ciri. Jajang memegang tali yang menjadi penghubung dia dan kawannya di laut. Tali itu digunakan sebagai pancang agar mudah menarik kawannya jika ombak dan air laut tidak lagi terasa akrab. Begitulah keseharian nelayan penangkap lobster yang terus bergelut dengan laut yang ditemui di Karang Paranye.

Tangkapan yang mereka dapat per hari tidak lebih hanya mengandalkan karunia tuhan, “Kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak dapat sama sekali”, ujar Jajang mengeluh. Untuk satu kilogram lobster, mereka biasa menjual Rp. 250.000/kg. Harga ini menjadi relatif karena kelangkaan lobster dan cuaca pendukung. Tidak urung dia kembali dan kembali ke tempat sama hanya untuk memulung keberuntungan yang sama jika tuhan sedang rela.

Tentu saja Jajang bukan satu-satunya penjaring lobster yang hidup dari hasil penjualannya. Untuk melakukan penjaringan ini dia bersama kawan-kawannya, 3-4 orang. Satu kelompok ini bernasib sama setiap harinya. Di Karang Paranye, satu tempat kecil yang hanya berdiri satu tebing karang besar ini bisa ditemukan 3 kelompok nelayan sore itu. Menurut keterangan penduduk setempat, para kelompok penjaring lobster ini kadang berburu mencari keberuntungan di tempat lain. Mereka bersama-sama berswadaya merauk ikan dan patungan untuk modal.

Rata-rata, penduduk kawasan pameungpeuk Garut menjadikan nelayan sebagai profesi. Penjaring Lobster memang tidak bisa oleh sembarang orang. Mereka rata-rata harus punya nyali kuat melawan ombak besar, berenang hebat di tengah arus yang siap porak porandakan badan, dan tahu strategi khusus menguasai laut lepas. Jika keadaan dan cuaca tidak mendukung, dan lobster tidak satupun terjaring, inilah saatnya mereka memancing atau berjalan-jalan menjaring ikan-ikan kecil untuk dibawa pulang.

Jajang dan kawan-kawan adalah salah satu komunitas nelayan dari 3.003 KK yang tercatat di administrasi pemerintah. Dan nasib mereka pun adalah representasi dari kehidupan nelayan keseluruhan. Bisa dibayangkan jika ada 3.003 potensi sumber daya manusia yang semuanya berkreasi mengembangkan usaha budidaya dan mencari alternative penangkapan hasil laut dengan cara yang ramah lingkungan, maka 12 mil laut yang terbentang di kawasan Kabupaten Garut terselamatkan. Pun, berapa banyak keluarga yang potensial yang bisa diberdayakan akan pengolahan hasil laut dengan manajemen yang baik. Namun, sayang rupanya bidikan pemerintah dan komunitas hanya sebatas menjaring dan mengisi perut kosong saja.

Di belahan kawasan Cidahon, area menuju Ranca Buaya Garut, berbeda dengan Jajang, yang hanya mengandalkan hidup dari tangkapan lobster dan ikan, Ipin, misalnya, seorang pegawai Bina Marga menjadikan profesi nelayan hanya seperti tambal ban, kala gaji tak penuhi kebutuhan. Dia tidak bingung jika santapan keluarga habis di tengah bulan. “Saya tinggal pergi ke laut, sekali menjaring, cukup untuk keluarga,” ujarnya yang lalu bercerita rumah tangganya ditempa perceraian karena kondisi ekonomi.

Tak Perlu Cemas, Sehari dapat Lima Kilogram

“Lima Kilogram,” Begitu cetus Dede menjelaskan hasil sekali tangkap. Dede bukanlah seorang nelayan. Dia anak seorang petani yang tinggal di kawasan Pameungpeuk Garut. Bersama sang paman, kerap kali dia pergi ke laut Cijeruk Indah dan Cibaluk yang berada di Kecamatan Cibalong. Tak perlu risau, tidak perlu ragu semua keluarga Pameungpeuk tidak usah cemas dengan kelaparan atau kehabisan uang untuk beli lauk pauk. Semua di dapat gratis, tinggal punya jaring, keranjang ikan, dan kemauan pergi ke laut. Hanya diam di bibir pantai, tidak pakai perahu, atau memikirkan umpan untuk dapat ikan. Mereka hanya menebarkan jarring ke tengah laut dengan tali panjang, beberapa kali tebar di sore hari, dapatlah lima kilogram ikan kecil dengan beragam jenis.

Inilah kehidupan para petani pesisir yang kebutuhan perutnya terpenuhi oleh alam. Bisa dibayangkan betapa berlimpahnya kekayaan alam yang sampai saat ini belum terkelola dengan baik. Menurut data, Pantai-pantai di tujuh kecamatan Kabupaten Garut memiliki Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil laut dengan zona teritorialnya 12 mil laut. Namun sampai saat ini adakah manajemen yang baik dari pemerintah untuk mengelola sumber dayanya. Mungkin bisa dijawab dengan kata, “Belum optimal.”

Jajang dan kawan-kawan penjaring lobster, kemudian Dede dan pamannya adalah para pemanfaat dari limpahan produk laut. Mereka merasa aman dengan kondisi laut karena kebutuhan perut terpenuhi. Tak terlihat jejak-jejak upaya masyarakat untuk mengelola tambak atau para petani pesisir yang memiliki kolam ikan, jika ingin ikan, mereka ke laut, jika laut tak bagus mereka bertani atau memancing untuk sehari makan keluarga. potensi pengelolaan produk laut ini memang tidak tampak. “Oh, ada satu tambak udang windu,” ujar Dede, tapi dia lanjut mengatakan tambak itu milik Bupati Garut, milik penduduk hanya di laut lepas.

Potensi-potensi kewirausahaan inilah yang memang belum muncul. Masyarakat lebih memilih berdagang ke daerah tasik, ciamis, banjar menuju pangandaran daripada berwirausaha mengelola produk laut di Pameungpeuk. Jajang dan kawan-kawan, misalnya, mereka menangkap lobster lalu menjualnya ke penadah, terima uang, lalu selesai sudah perkara. Kalau sudah begini, tak heran, produk-produk laut yang dijual ke penadah hanya produk mentah dan setelah penampungan lalu didistribusikan ke wilayah Cirebon dan seterusnya.

Dari data yang ada, memang kuantitas nelayan atau penangkap ikan, pedagang ikan, dan pengolah ikan sangat jauh berbeda, nelayan yang tercatat 3.003 KK, sedangkan pedagang ikan 123 orang dan pengolah ikan hanya 19 orang dengan terdiri dari 11 pengolah ikan, dan 8 pengolah rumput laut, maka data ini pun bisa tergambar bahwa potensi sumber daya manusia di kawasan Kabupaten Garut belum terkelola dengan baik. Masyarakat lebih senang menjadi penangkap ikan dan melakukannya terutama untuk konsumsi keluarga dibanding sebagai lahan usaha untuk peningkatan ekonomi keluarga.

Produksi hasil laut hanya sampai bahan mentah

Sayang Heulang adalah salah satu pantai wisata yang biasa dikunjungi warga. Di pantai ini tentunya lebih ramai dibanding pantai lain. Lokasinya sangat berdekatan, bahkan berdampingan, dengan pantai Santolo dan Cilauteureun, lokasi para nelayan pergi dan kembali dari berlayar. Sepanjang pantai Sayang Heulang banyak sekali penyewaan kamar. Hal ini karena pantai ini ditujukan sebagai objek wisata. Dari segi produksi hasil laut, pantai Sayang Heulang cukup terkenal dengan rumput lautnya. Para petani laut kerap kali datang untuk mencongkel rumput laut dari karang batu dengan jarak lima ratus meter dari bibir pantai.

Mereka congkel, tumpuk, dan timbang di penampung daerah Mancagahar, tidak jauh dari daerah itu. Meskipun rumput laut ini membanjiri setiap batu karang sepanjang pantai Sayang Heulang, namun tidak ada tempat budidaya yang terpusat. Semua produksi rumput laut dilakukan orang per orang. Tidak ada pengelolaan terpusat yang menghasilkan beratus-ratus kilo rumput laut atau dikelola menjadi produk jadi siap pakai, atau menjadi agar-agar yang sudah diawetkan dan siap seduh. Para petani laut hanya menjual hasil tani rumput laut dalam bentuk bahan mentah dijual ke Mancagahar secara orang per orang lalu, orang tersebut mengeringkannya dan segera di jual ke daerah lain. Begitu dan begitu hasil produk laut di kelola.

Apa yang terjadi pada pengelolaan rumput laut, terjadi juga pada pengelolaan ikan di kawasan Cilauteureun. Di sini terdapat tempat lelang ikan yang cukup besar dan lebih bersih dibanding tempat pelelangan ikan di kawasan Ranca Buaya. Di sini pula perdagangan ikan terjadi, bahkan pemukiman nelayan, atau kampung nelayan, berada. Bisa dibilang, Cilauteureun tempat pelelangan ikan dan pusat dagang para nelayan.

Kebanyakan nelayan di pantai ini pergi berlayar malam hari dan kembali di pagi hari. Mereka lalu menjual hasil tangkapan dengan ragam jenis ikan di tempat pelelangan ikan. Namun sangat disayangkan, semua ikan yang ada tidak lagi dijual secara bebas ke pasar atau dikelola dengan sistem lelang yang sesungguhnya. Tempat pelelangan ikan hanya sebatas nama di papan berukuran 1 x 2 meter saja tepat di depan bangunan.

Ikan-ikan yang sudah dijaring rupanya sudah terbeli. Tempat lelang itu seperti sebuah ‘posyandu’ yang rutin dilakukan kala nelayan kembali dari berlayar. Mereka membeli perahu dengan cara berutang dan dibayar dengan cara jual ikan. Betapa miris bukan? Lalu bagaimana dengan budidaya ikan itu sendiri. Dibandingkan dengan rumput laut, maka jawabannya, ‘sama’. Para nelayan itu menjaring, menjualnya di TPI, sebagian lainnya mengawetkan setelah itu didistribusikan ke daerah lain di Jawa. Tidak ditemukan di sekitar pantai ini pusat pengolahan ikan dan perdagangan terpadu. Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan selanjutnya?. Wassalam.



[i] Penulis adalah Pegiat ESKIP, Pusat Pemberdayaan Komunitas di Masyarakat.